Salamat Datang

Selamat datang di belajarmandiri, sebuah sarana untuk menjadikan belajar sebagai gaya hidup.

Melecehkan Kemiskinan

Nasib orang miskin di perkotaan (baca: Jakarta) memang sungguh malang. Bukan hanya kesulitan dan kesengsaraan hidup yang mereka alami, melainkan juga pelecehan oleh mereka yang hidupnya lebih berkecukupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Di tengah hingar-bingar dan gemerlapnya kota, harga diri orang miskin sering diremehkan tidak hanya di ruang publik, tapi juga terjadi di ruang privat. Parahnya, negara terkesan membiarkan pelecehan ini berlangsung secara masif dengan frekuensi yang semakin sering dan merata di hampir segala bidang kehidupan. Pelecehan kemiskinan ini dapat kita amati melalui berbagai bentuk.

Pertama, pelecehan terhadap mereka yang miskin secara terang benderang terjadi di wilayah publik. Kepongahan orang kaya yang jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang yang miskin semakin kasat mata di jalan raya. Orang kaya semakin pede memamerkan kekayaan mereka dengan mengendarai mobil mewah di jalanan kota yang macet dan penat di antara para pengemis dan pengasong jalanan. Kenyamanan dan kenikmatan kabin sejuk seakan mengejek para pengguna angkutan umum dan motor yang kegerahan oleh sengatan matahari atau kedinginan karena guyuran hujan Jakarta. Memang, adalah hak mereka untuk mengendarai mobil mewah dengan segala kenyamanan yang menyertainya karena di negara bebas ini memiliki kendaraan mewah tidak melanggar hukum dan tidak berdosa. Namun, tidakkah nurani kita terusik manakala kelimpahan hidup kita menertawakan kekurangan di  luar sana? Ada begitu banyak orang memandang kemewahan ini dengan tidak berdaya. Tidak mengherankan kalau jalan raya di Jakarta tak pernah mampu menampung jumlah kendaraan yang semakin hari semakin membuat sesak ibu kota.

Masih ingat peristiwa antrean ribuan orang hanya untuk mendapat diskon gede-gedean dari sebuah produk alas kaki impor di salah satu mal mewah di Jakarta? Padahal pengantre harus mengeluarkan 600 ribu rupiah untuk sepasang alas kaki. Bayangkan, Rp. 600,000 hanya untuk sepasang alas kaki! Ironis sekali dengan para pengantre raskin atau minyak goreng murah atau para pengantre zakat di hari raya yang untuk memperolehnya bahkan harus bertaruh nyawa. Mal, pusat-pusat perbelanjaan, apartemen mewah, hunian eksklusif semakin menegaskan bahwa perkotaan hanya milik mereka yang mampu. Mal dan pusat perbelanjaan di Jakarta dipenuhi dengan gerai-gerai eksklusif yang hanya melayani kaum berduit. Jualan barang murah untuk rakyat di mal bukan pilihan bisnis yang menguntungkan. Karena itu jangan heran kalau sulit sekali menemukan tempat parkir di mal di akhir pekan.

Pelecehan ini juga telah merambah di ruang privat, di ruang-ruang keluarga kita. Kalau kita nonton tv, kita akan segera paham betapa orang miskin senantiasa dilecehkan lewat tayangan sinetron yang mengumbar kemewahan. Lebih banyak tayangan sinetron yang menjerumuskan ketimbang mendidik. Selama 24 jam sehari belasan stasiun televisi menyiarkan sinetron yang meracuni rumah tangga kita dengan buaian manis penuh tipu daya. Orang miskin dininabobokan dengan tayangan yang membuat mereka lupa akan realitas kehidupan yang sebenarnya. Tontonan kemewahan dengan bintang-bintang yang artifisial seakan menertawakan mereka yang miskin. Sinetron jenis beginian ini sungguh memabukkan bagi kaum miskin yang jelas tidak bakal mampu menikmati apa yang mereka tonton. Sayangnya, justru sisi ini lah yang dieksplorasi dan dimanfaatkan oleh para produser yang lihai memenuhi mimpi semu kaum miskin. Dengan menonton sinetron semacam ini, kaum miskin merasa bagian dari kemewahan semu ini dan sejenak melupakan kesengsaraan mereka meskipun dampaknya justru semakin menjerumuskan mereka ke jurang kemiskinan yang makin dalam.

Pelecehan kemiskinan di televisi juga terjadi dalam tayangan iklan, terutama iklan produk hunian. Setiap pemirsa televisi pasti tahu dengan iklan hunian yang ditayangkan oleh salah satu pengembang ternama di Indonesia. Melalui host-nya yang kemayu, genit, dan berperilaku superfisial, tayangan iklan jenis ini sering menggunakan pertanyaan atau pernyataan provokatif yang sangat melecehkan. Misalnya,  "Ayo pemirsa... tunggu apa lagi. Cicilan per bulan cuman 8,5 juta rupiah."  Atau, "Cepetan... angkat telpon dan hubungi marketing kami. Kesempatan untuk mendapatkan hunian eksklusif hanya dengan cicilan 12 juta per bulan ini berlaku hari ini saja. Besok sudah naik." Duh... betapa entengnya si kemayu ini menyebut sekian juta rupiah bak membeli peuyem. Gaya iklan semacam ini melecehkan 40 juta kaum miskin yang tinggal di bantaran sungai dan di bawah jembatan yang bahkan tak pernah membayangkan memiliki uang 8,5 atau 12 juta? Iklan seperti ini merupakan salah satu wujud pelecehan yang sangat ironis. Pernahkan para pembuat iklan ini berpikir apa yang akan dilakukan orang miskin bila memiliki 8,5 juta atau 12 juta? Sulit diterima akal kaum miskin bahwa jumlah rupiah sedemikian besar ini hanya untuk sebuah hunian eksklusif di perkotaan. Jelas bahwa iklan ini ngece wong mlarat, mengejek kemelaratan.

Apa dampak dari pelecehan terhadap kemelaratan seperti ini bagi masyarakat? Kemelaratan yang dihina secara terus menerus dan sistematis semacam ini jelas membahayakan kehidupan bersama dalam masyarakat. Social jealousy mudah sekali tersulut dengan hal-hal di atas. Tanda-tanda kecemburuan seperti ini sudah terlihat dalam kehidupan kita. Temperamen masyarakat miskin mudah sekali naik hanya persoalan-persoalan kecil, bahkan sering terjadi di kalangan mereka sendiri. Insiden bunuh diri semakin sering terjadi di masyarakat. Parahnya, bunuh diri dilakukan tidak hanya oleh orang dewasa tetapi juga oleh orang muda produktif dan bahkan anak usia sekolah. Beban hidup dan kemiskinan yang teraniaya setiap hari di ruang publik dan layar televisi membuat hidup mereka seperti tidak berarti. Akibatnya, keputusasaan hidup yang mereka rasakan. Orang kaya yang difasilitasi negara melakukan penghinaan kepada mereka secara kontinyu dan sistematis. Memang penghinaan ini tidak berlangsung secara langsung. Tetapi rakyat miskin terus-menerus melongo dan ngiler dengan pameran kemewahan yang berada di luar jangkauan mereka. Apalagi, orang-orang kaya yang memperoleh kemakmuran mereka dengan cara tidak halal justru jumawa dan penuh percaya diri mempertontonkan kenikmatan hidup mereka.

Rasanya, revolusi tinggal menunggu waktu. Saatnya rakyat miskin menagih janji-janji pemerintah yang dilontarkan saat kampanye. Rakyat miskin sangat rentan terhadap hasutan dan bujukan. Jangan salahkan mereka bila suatu saat, kejengkelan dan kedongkolan mereka meledak. Semoga tidak!