Sejak beberapa hari yang lalu umat Muslim di seluruh dunia melaksanakan ibadah yang telah setahun lamanya dinantikan: berpuasa di Ramadan, bulan penuh berkah dan kerahiman. Setiap insan yang mengaku dirinya muslim, baik yang sejati maupun muslim KTP, pasti menyambut kedatangan Ramadan ini dengan suka cita. Berbagai persiapan untuk menjalankan ibadah puasa pun dilakukan. Ada yang mempersiapkan diri dengan menitikberatkan pada hal-hal rohani, imaniah, atau pun batiniah. Namun, tak sedikit pula yang berkemas diri melalui persiapan yang lebih bersifat lahiriah, badaniah atau jasamaniah. Tak ada yang keliru dengan dua jenis persiapan yang sepertinya berkontradiksi ini karena menjalankan puasa memang memerlukan keduanya secara seimbang: rohani maupun jasmani. Raga yang kurang bugar apalagi sakit-sakitan hanya akan menghambat pelaksanaan ibadah puasa yang memang memerlukan persiapan fisik yang prima, selain yang lebih utama yakni persiapan rohani yang sumeleh, pasrah, ikhlas, dan suka-cita yang genuine. Lagian, Ramadan kali ini jatuh di musim panas yang menyengat yang sudah barang tentu memerlukan kekuatan fisik yang baik untuk menuntaskan ibadah puasa dengan sempurna.
Secara khusus, tradisi puasa di Indonesia memang sudah berakar kuat. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, Ramadan yang identik dengan puasa jelas menjadi tradisi tahunan yang selalu semarak, ngangeni, dan berpengharapan. Nilai-nilai luhur universal yang terkandung dalam ibadah puasa begitu luar biasa. Di tengah terpaan dan terjangan gelombang globalisasi yang seringkali menyesatkan, umat Muslim diingatkan kembali akan hakikatnya sebagai manusia yang merupakan bagian kecil dari ciptaan Allah. Fitrahnya sebagai manusia diingatkan kembali melalui berbagai kegiatan dan peribadatan yang merefleksikan peran dan tanggung jawabnya sebagai hamba dan ciptaan Allah. Umat Muslim seperti dicemplungkan kedalam kawah candradimuka untuk diremajakan kembali, bahkan dilahirkan kembali, agar berkesempatan untuk memperbaiki diri, mengenal diri, dan mendekatan diri pada kehendak Allah guna meniti hidup baru yang lebih baik, baik secara pribadi maupun secara kelompok. Dalam berpuasa, setiap Muslim berlatih, belajar, dan menyangkal diri dengan segala daya upaya untuk menahan nafsu dan hasrat duniawi. Bukan hanya nafsu ragawi seperti lapar, haus, dan seks, tetapi juga nafsu rohani seperti amarah, dengki, iri, dan fitnah. Selama sebulan penuh setiap insan yang menjalankan puasa menyadari akan pentingnya pengendalian diri dan senantiasa berupaya untuk menahan diri dari perilaku yang tidak dikehendaki Allah. Berzakat, bersedekah, beribadah, dan berbuat baik bagi sesama menjadi perilaku yang setiap orang ingin lakukan karena akan mendatangkan berkah yang berlimpah. Sebaliknya, berjudi, berpesta pora, dan berperilaku yang bertentangan dengan norma susila dan agama akan dihindari karena akan mendatangkan azab dan hukuman. Karena itu, setiap orang berlomba berbuat kebaikan agar di akhir puasa, kemenangan atas nafsu angkara murka dapat diraih dan jiwa fitri didapatkan. Tidak mengherankan bila Ramadan selalu diasosiasikan dengan ketentraman, kedamaian, kesalehan, dan kesucian.
Secara khusus, tradisi puasa di Indonesia memang sudah berakar kuat. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, Ramadan yang identik dengan puasa jelas menjadi tradisi tahunan yang selalu semarak, ngangeni, dan berpengharapan. Nilai-nilai luhur universal yang terkandung dalam ibadah puasa begitu luar biasa. Di tengah terpaan dan terjangan gelombang globalisasi yang seringkali menyesatkan, umat Muslim diingatkan kembali akan hakikatnya sebagai manusia yang merupakan bagian kecil dari ciptaan Allah. Fitrahnya sebagai manusia diingatkan kembali melalui berbagai kegiatan dan peribadatan yang merefleksikan peran dan tanggung jawabnya sebagai hamba dan ciptaan Allah. Umat Muslim seperti dicemplungkan kedalam kawah candradimuka untuk diremajakan kembali, bahkan dilahirkan kembali, agar berkesempatan untuk memperbaiki diri, mengenal diri, dan mendekatan diri pada kehendak Allah guna meniti hidup baru yang lebih baik, baik secara pribadi maupun secara kelompok. Dalam berpuasa, setiap Muslim berlatih, belajar, dan menyangkal diri dengan segala daya upaya untuk menahan nafsu dan hasrat duniawi. Bukan hanya nafsu ragawi seperti lapar, haus, dan seks, tetapi juga nafsu rohani seperti amarah, dengki, iri, dan fitnah. Selama sebulan penuh setiap insan yang menjalankan puasa menyadari akan pentingnya pengendalian diri dan senantiasa berupaya untuk menahan diri dari perilaku yang tidak dikehendaki Allah. Berzakat, bersedekah, beribadah, dan berbuat baik bagi sesama menjadi perilaku yang setiap orang ingin lakukan karena akan mendatangkan berkah yang berlimpah. Sebaliknya, berjudi, berpesta pora, dan berperilaku yang bertentangan dengan norma susila dan agama akan dihindari karena akan mendatangkan azab dan hukuman. Karena itu, setiap orang berlomba berbuat kebaikan agar di akhir puasa, kemenangan atas nafsu angkara murka dapat diraih dan jiwa fitri didapatkan. Tidak mengherankan bila Ramadan selalu diasosiasikan dengan ketentraman, kedamaian, kesalehan, dan kesucian.
Logika berpuasa di atas tentu merupkan logika sederhana yang memang seharusnya terlaksana selama Ramadhan. Sayangnya, logika sederhana ini tidak sepenuhnya terjadi dalam masyarakat kita. Ada setidak-tidaknya empat pertanda yang memutarbalikkan logika puasa.
Pertama, salah satu hakikat berpuasa adalah menahan lapar dan dahaga supaya kita dapat merasakan betapa beratnya menahan hasrat untuk makan dan minum. Tujuannya agar kita dapat berempati dengan mereka yang papa yang setiap harinya kelaparan dan keharusan. Logika sederhananya, berpuasa seharusnya mengurangi konsumsi dan belanja akan bahan makanan dan minuman secara signifikan. Bukankah selama berpuasa, orang berlatih menahan diri untuk makan dan minum? Kenyataannya, justru setiap Ramadan, konsumsi pangan dan minuman meningkat dengan sangat tajam yang ditandai dengan melonjaknya harga bahan pangan karena permintaan yang tidak sebanding dengan ketersediaan. Kebutuhan pangan pokok seperti beras, gula, telor, ayam, daging, minyak goreng, cabai, sayur-mayur, bahkan terasi meroket melebihi ketersediaan. Keluarga yang sehari-harinya makan secara sederhana dan apa adanya, justru di Ramadan harus menyediakan menu berbuka seperti kolak, es campur, daging semur, ayam bakar, atau menu-menu istimewa khas Ramadan lainnya. Bahkan di keluarga-keluarga miskin sekalipun, mereka berupaya keras untuk menyediakan setidak-tidaknya sirup murahan atau teh hangat manis untuk berbuka yang sehari-harinya tidak mereka lakukan. Sedangkan di keluarga yang berkecukupan atau berkelebihan, senantiasa tersaji hidangan istimewa untuk berbuka yang sering kali berkelimpahan dan tidak mampu dihabiskan karena begitu beragam dan berlebihan, siap untuk memuaskan lapar dan dahaga yang tertahan seharian. Keluarga yang tak sempat menyiapkan sendiri hidangan berbuka puasa dengan mudah mendapatkan tajil dan sajian lain yang menggugah selera di mana saja, umumnya di pinggir-pinggir jalan strategis yang memacetkan lalu lintas. Tentu saja konsumsi ekstra ini menimbulkan gejolak harga yang pada akhirnya merugikan dan membebani umat Muslim secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum, terutama mereka yang berkekurangan. Berbuka puasa dengan menu dan sajian istimewa merupakan ganjaran atas jerih payah puasa yang telah ditunaikan seharian.
Hal kedua berkaitan dengan meningkatnya angka kriminalitas. Berbagai laporan dan statistik menunjukkan bahwa tingkat kerawanan sosial dan kriminalitas seperti pencurian, penjambretan, dan perampokan justru lebih sering terjadi selama Ramadan. Logikanya, Ramadan menciptakan suasana tentram dan damai. Bukankah suasan puasa seharusnya membuat orang dapat menahan diri untuk melakukan tindak kriminalitas? Puasa seharusnya dimanfaatkan oleh kita semua untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan, dan bukan sebaliknya, supaya mendapat ganjaran yang berlipat ganda dari Allah. Bukankah kita percaya bahwa perbuatan baik yang dilakukan saat Ramadan akan mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda? Kenyataannya, para pelaku kriminal sering menggunakan saat puasa untuk menjalankan aksi mereka. Pencurian kendaraan bermotor, pencopetan, penipuan, pembiusan, penjarahan rumah yang ditinggal penghuninya, dan aksi kejahatan lain semakin marak di bulan penuh ampunan. Sebagian orang berpendapat bahwa meningkatnya kriminalitas ini terjadi karena orang dipaksa untuk menyiapkan perayaan kemenangan seusai menunaikan ibadah puasa dengan pesta yang semarak. Setiap orang ingin memiliki uang supaya dapat merayakan Idul Fitri dengan meriah. Sayangnya, cara menyiapkan perayaan ini kadang harus ditempuh melalui cara-cara yang menghianati semangat Ramadan itu sendiri.
Ketiga, puasa adalah sarana untuk menguji diri apakah kita mampu bertahan terhadap godaan supaya di saat Idul Fitri nanti kita layak mendapatkan kemenangan. Logikanya, orang yang sungguh-sungguh menjalankan puasa seharusnya bersyukur bila mendapatkan tantangan dan rintangan yang pada akhirnya dapat ditaklukkan. Penaklukan terhadap tantangan dan rintangan selama puasa itulah yang membuat puasa lebih berarti. Kenyataannya, keadaan yang jamak terjadi di masyarakat justru menginginkan peniadaan tantangan dan rintangan. Semua pihak diminta untuk menghormati Ramadan dan orang yang menjalankan ibadah puasa. Warung makan, restoran, tempat-tempat hiburan dihimbau dan, terkadang, dipaksa untuk tutup pada siang hari atau selama Ramadan supaya yang berpuasa tidak tergoda untuk makan. Bagaimana mungkin kita dapat mengukur kekuatan ibadah kita bila kita menginginkan kemudahan dan meminta orang lain mengikuti kehendak orang yang berpuasa sehingga selama sebulan penuh suasana kehidupan dalam masyarakat menjadi seragam? Apa sulitnya menjalankan ibadah puasa kalau semua orang berpuasa dan melakukan hal yang sama? Bagaimana kita dapat menguji keteguhan puasa kita kalau kita memaksa orang lain supaya bersembunyi di balik kelambu ketika makan di warteg atau restoran? Penyangkalan diri adalah esensi lain dari puasa yang seharusnya dikembangkan, bukan memaksa orang lain untuk membuat kita nyaman dengan puasa kita.
Hal terakhir terkait dengan produktivitas. Kita maklum bahwa puasa membuat sebagian orang kurang produktif. Logikanya, puasa atau tidak puasa produktivitas kerja seharusnya berlangsung sebagaimana mestinya, business as usual. Justru di sinilah ujian terpenting dari puasa. Bagaimana kita dapat tetap beraktivitas seperti biasa tanpa meninggalkan ibadah puasa yang kita jalankan. Seharusnya dengan berpuasa justru membuat kita semakain tertantang dan bersemangat dalam menjalankan kewajiban sehari-hari. Semangat rohani kita seharusnya menjadi modal dasar yang orisinil untuk memompa semangat jasmani dan mewujud dalam kinerja yang lebih mumpuni. Kenyataannya, kantor pemerintah mengurangi jam kerjanya sehingga, konsekuensinya, pelayanan kepada masyarakat menjadi tidak maksimal. Para pegawai datang ke tempat kerja lebih siang dan pulang lebih awal. Para PNS bermalas-malasan dalam menjalankan kewajiban mereka dan tak jarang tertidur di tempat kerja dengan alasan puasa. Atasan pun sepertinya maklum dan paham bila bawahan mereka kurang sigap menjalankan tugas-tugas mereka selama bulan puasa. Sekolah mengurangi jam belajar, bahkan memberikan libur yang berlebihan dengan alasan penghormatan terhadap Ramadan. Para pekerja bergegas pulang lebih awal kalau perlu membolos agar bisa tidur siang dan ketika bangun, bedug berbuka segera terdengar untuk membatalkan puasa. Perilaku ini menunjukkan bahwa bagi sebagian orang, puasa menjadi alasan pembenaran atas ketidakproduktifan mereka.
Ada baiknya kita bercermin dan berefleksi diri: sudah benarkah perilaku puasa kita? Jangan sampai bulan yang penuh berkah ini mengurangi hakikat kita sebagai manusia yang ingin memperbaiki diri. Puasa adalah sarana untuk menengok ke nurani kita dan memperbaiki borok-borok yang terdapat di dalamnya. Semoga kita semakin logis dalam menjalankan puasa kita. Selamat menunaikan ibadah puasa!
Hal kedua berkaitan dengan meningkatnya angka kriminalitas. Berbagai laporan dan statistik menunjukkan bahwa tingkat kerawanan sosial dan kriminalitas seperti pencurian, penjambretan, dan perampokan justru lebih sering terjadi selama Ramadan. Logikanya, Ramadan menciptakan suasana tentram dan damai. Bukankah suasan puasa seharusnya membuat orang dapat menahan diri untuk melakukan tindak kriminalitas? Puasa seharusnya dimanfaatkan oleh kita semua untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan, dan bukan sebaliknya, supaya mendapat ganjaran yang berlipat ganda dari Allah. Bukankah kita percaya bahwa perbuatan baik yang dilakukan saat Ramadan akan mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda? Kenyataannya, para pelaku kriminal sering menggunakan saat puasa untuk menjalankan aksi mereka. Pencurian kendaraan bermotor, pencopetan, penipuan, pembiusan, penjarahan rumah yang ditinggal penghuninya, dan aksi kejahatan lain semakin marak di bulan penuh ampunan. Sebagian orang berpendapat bahwa meningkatnya kriminalitas ini terjadi karena orang dipaksa untuk menyiapkan perayaan kemenangan seusai menunaikan ibadah puasa dengan pesta yang semarak. Setiap orang ingin memiliki uang supaya dapat merayakan Idul Fitri dengan meriah. Sayangnya, cara menyiapkan perayaan ini kadang harus ditempuh melalui cara-cara yang menghianati semangat Ramadan itu sendiri.
Ketiga, puasa adalah sarana untuk menguji diri apakah kita mampu bertahan terhadap godaan supaya di saat Idul Fitri nanti kita layak mendapatkan kemenangan. Logikanya, orang yang sungguh-sungguh menjalankan puasa seharusnya bersyukur bila mendapatkan tantangan dan rintangan yang pada akhirnya dapat ditaklukkan. Penaklukan terhadap tantangan dan rintangan selama puasa itulah yang membuat puasa lebih berarti. Kenyataannya, keadaan yang jamak terjadi di masyarakat justru menginginkan peniadaan tantangan dan rintangan. Semua pihak diminta untuk menghormati Ramadan dan orang yang menjalankan ibadah puasa. Warung makan, restoran, tempat-tempat hiburan dihimbau dan, terkadang, dipaksa untuk tutup pada siang hari atau selama Ramadan supaya yang berpuasa tidak tergoda untuk makan. Bagaimana mungkin kita dapat mengukur kekuatan ibadah kita bila kita menginginkan kemudahan dan meminta orang lain mengikuti kehendak orang yang berpuasa sehingga selama sebulan penuh suasana kehidupan dalam masyarakat menjadi seragam? Apa sulitnya menjalankan ibadah puasa kalau semua orang berpuasa dan melakukan hal yang sama? Bagaimana kita dapat menguji keteguhan puasa kita kalau kita memaksa orang lain supaya bersembunyi di balik kelambu ketika makan di warteg atau restoran? Penyangkalan diri adalah esensi lain dari puasa yang seharusnya dikembangkan, bukan memaksa orang lain untuk membuat kita nyaman dengan puasa kita.
Hal terakhir terkait dengan produktivitas. Kita maklum bahwa puasa membuat sebagian orang kurang produktif. Logikanya, puasa atau tidak puasa produktivitas kerja seharusnya berlangsung sebagaimana mestinya, business as usual. Justru di sinilah ujian terpenting dari puasa. Bagaimana kita dapat tetap beraktivitas seperti biasa tanpa meninggalkan ibadah puasa yang kita jalankan. Seharusnya dengan berpuasa justru membuat kita semakain tertantang dan bersemangat dalam menjalankan kewajiban sehari-hari. Semangat rohani kita seharusnya menjadi modal dasar yang orisinil untuk memompa semangat jasmani dan mewujud dalam kinerja yang lebih mumpuni. Kenyataannya, kantor pemerintah mengurangi jam kerjanya sehingga, konsekuensinya, pelayanan kepada masyarakat menjadi tidak maksimal. Para pegawai datang ke tempat kerja lebih siang dan pulang lebih awal. Para PNS bermalas-malasan dalam menjalankan kewajiban mereka dan tak jarang tertidur di tempat kerja dengan alasan puasa. Atasan pun sepertinya maklum dan paham bila bawahan mereka kurang sigap menjalankan tugas-tugas mereka selama bulan puasa. Sekolah mengurangi jam belajar, bahkan memberikan libur yang berlebihan dengan alasan penghormatan terhadap Ramadan. Para pekerja bergegas pulang lebih awal kalau perlu membolos agar bisa tidur siang dan ketika bangun, bedug berbuka segera terdengar untuk membatalkan puasa. Perilaku ini menunjukkan bahwa bagi sebagian orang, puasa menjadi alasan pembenaran atas ketidakproduktifan mereka.
Ada baiknya kita bercermin dan berefleksi diri: sudah benarkah perilaku puasa kita? Jangan sampai bulan yang penuh berkah ini mengurangi hakikat kita sebagai manusia yang ingin memperbaiki diri. Puasa adalah sarana untuk menengok ke nurani kita dan memperbaiki borok-borok yang terdapat di dalamnya. Semoga kita semakin logis dalam menjalankan puasa kita. Selamat menunaikan ibadah puasa!