Miris rasanya membaca berita di Kompas online (Selasa, 24 Juli 2012) tentang korban kecelakaan di Jakarta. Dalam kurun waktu seminggu dilancarkannya Operasi Patuh Jaya, Kepolisian Metro Jakarta mencatat 21 nyawa melayang sia-sia di jalanan, 45 mengalami luka berat, dan 71 luka ringan. Secara rerata, setiap harinya ada 3 orang meninggal di jalanan ibu kota. Mayoritas korban kecelakaan di jalanan adalah
tulang punggung keluarga. Bila 50% korban meninggal adalah para pencari nafkah yang menanggung 3 jiwa dalam keluarganya, dapat dibayangkan berapa kerugian materiil yang harus ditanggung keluarga-keluarga tersebut. Setidak-tidaknya, setiap hari ada 20 anak yatim atau piatu dan 10 pasangan dipisahkan dari belahan jiwa mereka oleh maut yang mewujud dalam kecelakaan lantas. Berapa orang akan menjadi yatim dalam sebulan atau setahun? Amat memilukan, bukan? Dampaknya, masyarakat dan negara akan terbebani oleh anak-anak yang masih memerlukan dukungan finansial dari orang dewasa bagu kehidupan mereka. Ini hanya dari sisi material, bagaimana dengan dampak non-material akibat hilangnya nyawa karena kecelakaan ini bagi anak, saudara, atau kerabat karena putusnya relasi kasih sayang, perhatian, dan cinta? Sungguh luar biasa kerugian yang ditimbulkan kecelakaan lalu lintas! Sayangnya, potensi kerugian yang dahsyat dan membebani negara ini sering kita abaikan. Para pengambil kebijakan pun seringkali tutup mata atas persoalan yang sebenarnya sudah sampai pada tahap yang sangat mengkhawatirkan ini.
tulang punggung keluarga. Bila 50% korban meninggal adalah para pencari nafkah yang menanggung 3 jiwa dalam keluarganya, dapat dibayangkan berapa kerugian materiil yang harus ditanggung keluarga-keluarga tersebut. Setidak-tidaknya, setiap hari ada 20 anak yatim atau piatu dan 10 pasangan dipisahkan dari belahan jiwa mereka oleh maut yang mewujud dalam kecelakaan lantas. Berapa orang akan menjadi yatim dalam sebulan atau setahun? Amat memilukan, bukan? Dampaknya, masyarakat dan negara akan terbebani oleh anak-anak yang masih memerlukan dukungan finansial dari orang dewasa bagu kehidupan mereka. Ini hanya dari sisi material, bagaimana dengan dampak non-material akibat hilangnya nyawa karena kecelakaan ini bagi anak, saudara, atau kerabat karena putusnya relasi kasih sayang, perhatian, dan cinta? Sungguh luar biasa kerugian yang ditimbulkan kecelakaan lalu lintas! Sayangnya, potensi kerugian yang dahsyat dan membebani negara ini sering kita abaikan. Para pengambil kebijakan pun seringkali tutup mata atas persoalan yang sebenarnya sudah sampai pada tahap yang sangat mengkhawatirkan ini.
Persoalannya, mengapa angka korban kecelakaan lalu lintas di Jakarta begitu besar dan berkecenderungan meningkat setiap tahunnya? Pertanyaan ini patut kita cermati dan harus kita carikan solusi guna melindungi para pengguna jalan raya. Ada beberapa penyebab yang patut kita duga sebagai biang keladi terjadinya kecelakaan yang senantiasa meneror para pengguna jalan raya.
Pertama berkaitan dengan sarana dan prasarana jalan. Jalan raya di ibu kota sudah tidak mampu lagi menampung jumlah kendaraan yang melintas. Pertumbuhan kapasitas jalan yang hanya 1% per tahun tidak mampu menampung jumlah kendaraan prosentasinya meningkat tajam setiap tahun. Akibatnya, jalanan menjadi macet. Karena kemacetan yang gila-gilaan ini, para pengguna jalan akhirnya terpaksa mencari solusi sendiri untuk mobilitas yang efektif dan efisien: kendaraan roda dua (motor) yang cepat dan murah. Karena itu, jalan raya dipenuhi oleh kendaraan roda dua yang jumlahnya semakin hari semakin banyak bak lalat yang mengerubungi bangkai. Para pengamat transportasi sudah mengingatkan bahwa mengendarai motor sangat riskan untuk mengalami kecelakaan yang fatal. Sayangnya, masyarakat Jakarta tidak punya pilihan kecuali harus meresikokan diri mereka sendiri untuk beraktifitas meskipun nyawa menjadi taruhannya.
Teror di jalan juga diperburuk dengan kesadaran dan perilaku berlalu lintas yang memprihatinkan dari para pengguna jalan. Bukan hal aneh bahwa banyak pengendara kendaraan roda dua di Jakarta mengabaikan keselamatan. Bermotor tanpa mengenakan pelindung keselamatan seperti helm, sarung tangan, sepatu, dll. atau mengangkut lebih dari satu penumpang meupakan pemandangan biasa yang dapat kita temui di seantero Jakarta. Dengan tingkat kesadaran yang begitu rendah, tidak mengherankan kalau angka kecelakaan dengan korban meninggal sangat tinggi. Belum lagi dengan perilaku berlalu lintas yang serampangan dan tidak tertib yang diperlihatkan para pengendara, khususnya pengendara sepeda motor dan para pengemudi angkutan umum. Di sebagian besar jalanan di ibu kota, kecuali di jalan-jalan protokol seperti Thamrin, Sudirman, dan Gatot Subroto, para pengendara sepeda motor dan pengemudi angkutan umum tidak memedulikan peraturan lalu lintas. Di perempatan atau pertigaan, mereka mengabaikan lampu pengatur lalu lintas. Setiap lampu yang menyala dianggap mereka lampu hijau. Berapa pengendara sepeda motor yang berhenti ketika lampu pengatur lalu lintar menyala merah? Barangkali hanya 20% dari pengguna yang mematuhi lampu lalu lintas yang menjadi pengendali aliran lalu lintas di jalan raya. Karena itu, tidak heran kalau angka kecelakaan sangat tinggi, terutama yang terjadi pada kendaraan roda dua.
Sebenarnya, masih banyak penyebab terjadinya kecelakaan di jalanan ibu kota seperti kondisi kendaraan, keadaan pengendara, sarana jalan raya yang kurang memadai, perilaku berlalulintas yang membahayakan, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, dua penyebab di atas sebaiknya diprioritaskan terlebih dahulu agar teror di jalan ini tidak menjadi zombi yang secara diam-diam dan setiap waktu mengancam para pengguna jalan. Sungguh tidak masuk akal bahwa angka kematian di jalan dalam setahun jauh lebih tinggi dari angka kematian yang dialami para serdadu Amerika yang berperang di Irak selama 5 tahun. Sungguh ironis dan tragis.
Pertama berkaitan dengan sarana dan prasarana jalan. Jalan raya di ibu kota sudah tidak mampu lagi menampung jumlah kendaraan yang melintas. Pertumbuhan kapasitas jalan yang hanya 1% per tahun tidak mampu menampung jumlah kendaraan prosentasinya meningkat tajam setiap tahun. Akibatnya, jalanan menjadi macet. Karena kemacetan yang gila-gilaan ini, para pengguna jalan akhirnya terpaksa mencari solusi sendiri untuk mobilitas yang efektif dan efisien: kendaraan roda dua (motor) yang cepat dan murah. Karena itu, jalan raya dipenuhi oleh kendaraan roda dua yang jumlahnya semakin hari semakin banyak bak lalat yang mengerubungi bangkai. Para pengamat transportasi sudah mengingatkan bahwa mengendarai motor sangat riskan untuk mengalami kecelakaan yang fatal. Sayangnya, masyarakat Jakarta tidak punya pilihan kecuali harus meresikokan diri mereka sendiri untuk beraktifitas meskipun nyawa menjadi taruhannya.
Teror di jalan juga diperburuk dengan kesadaran dan perilaku berlalu lintas yang memprihatinkan dari para pengguna jalan. Bukan hal aneh bahwa banyak pengendara kendaraan roda dua di Jakarta mengabaikan keselamatan. Bermotor tanpa mengenakan pelindung keselamatan seperti helm, sarung tangan, sepatu, dll. atau mengangkut lebih dari satu penumpang meupakan pemandangan biasa yang dapat kita temui di seantero Jakarta. Dengan tingkat kesadaran yang begitu rendah, tidak mengherankan kalau angka kecelakaan dengan korban meninggal sangat tinggi. Belum lagi dengan perilaku berlalu lintas yang serampangan dan tidak tertib yang diperlihatkan para pengendara, khususnya pengendara sepeda motor dan para pengemudi angkutan umum. Di sebagian besar jalanan di ibu kota, kecuali di jalan-jalan protokol seperti Thamrin, Sudirman, dan Gatot Subroto, para pengendara sepeda motor dan pengemudi angkutan umum tidak memedulikan peraturan lalu lintas. Di perempatan atau pertigaan, mereka mengabaikan lampu pengatur lalu lintas. Setiap lampu yang menyala dianggap mereka lampu hijau. Berapa pengendara sepeda motor yang berhenti ketika lampu pengatur lalu lintar menyala merah? Barangkali hanya 20% dari pengguna yang mematuhi lampu lalu lintas yang menjadi pengendali aliran lalu lintas di jalan raya. Karena itu, tidak heran kalau angka kecelakaan sangat tinggi, terutama yang terjadi pada kendaraan roda dua.
Sebenarnya, masih banyak penyebab terjadinya kecelakaan di jalanan ibu kota seperti kondisi kendaraan, keadaan pengendara, sarana jalan raya yang kurang memadai, perilaku berlalulintas yang membahayakan, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, dua penyebab di atas sebaiknya diprioritaskan terlebih dahulu agar teror di jalan ini tidak menjadi zombi yang secara diam-diam dan setiap waktu mengancam para pengguna jalan. Sungguh tidak masuk akal bahwa angka kematian di jalan dalam setahun jauh lebih tinggi dari angka kematian yang dialami para serdadu Amerika yang berperang di Irak selama 5 tahun. Sungguh ironis dan tragis.